Pers Harus Sepakati Agenda Nasional
Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2015 ini akan menjadi momentum
penting untuk mengevaluasi kembali apakah kebebasan pers yang direngkuh sejak
reformasi bergulir 17 tahun silam itu sudah sesuai dengan apa yang
dicita-citakan bangsa Indonesia? Kebebasan memang sudah didapat, tetapi apakah
pemberitaan pers yang informatif, edukatif sekaligus konstruktif untuk
pembangunan jatidiri bangsa ini juga sudah tercipta?
Pertanyaan reflektif semacam itu sengaja dilontarkan untuk menjadi bahan
renungan pada peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2015 yang akan digelar di
Indragiri Hilir, pertengahan Februari ini, agar pers nasional dapat bercermin
pada jati dirinya, menimbang kembali peran, tugas dan tanggungjawabnya, serta
tidak melupakan tujuan konstitusi kita yakni “memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Untuk membuka kembali catatan sejarah perjalanan pers pasca reformasi, berikut
wawancara dengan Ketua I DPR RI Drs. H. Mahfudz Siddiq, M.Si. yang
tugasnya memang membidangi masalah komunikasi dan informasi di DPR:
Apa pendapat Anda tentang pers pasca reformasi di usianya yang menginjak ke-17
tahun ini?
Memang sejak reformasi itu kita bersyukur karena pers tumbuh
berkembang dalam era kebebasan dan ini positif bagi akses masyarakat terhadap
informasi dan juga bagi pendewasaan masyarakat di dalam menjalankan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Itu tetap merupakan sesuatu yang patut
disyukuri, walaupun kita melihat bahwa perkembangan industri media massa ini
masih didominasi oleh media elektronik. Pers cetak selain trend dunia sedang
mengalami penurunan, memang di dalam negeri juga kita melihat trend yang sama.
Walaupun di tingkat lokal kita melihat kemunculan media massa-media massa cetak
untuk versi lokal. Ini satu hal yang penting dan menarik sehingga akses
informasi itu bukan saja didapatkan dalam skala nasional tetapi juga dalam
skala lokal. Tentu saja kita semua punya kewajiban untuk menjaga
tumbuh-kembangnya pers dan media massa di Indonesia. Kita semakin menyadari
peran penting pers dan media massa ini sebagai pilar demokrasi.
Lalu apa saja catatan Anda terhadap pers pasca reformasi?
Saya ingin menggarisbawahi bahwa arus kebebasan ini harus kita
bangun ke arah titik keseimbangan. Karena dalam 16 tahun perjalanannya ini kita
mulai melihat ada urgensi untuk mendorong pers pada titik keseimbangan yang
baru. Indikasinya, yang pertama adalah mulai menguatnya relasi antara politik
dan media massa. Mungkin bagi media massa cetak hal ini tidak terlalu menjadi
persoalan. Tapi bagi media massa elektronik seperti televisi, yang menggunakan
frekuensi publik, relasi antara media massa dan politik ini harus dicermati
secara lebih khusus. Apalagi akses masyarakat terhadap media televisi ini jauh
lebih besar ketimbang terhadap media cetak. Jangan sampai kemudian relasi media
massa elektronik televisi ini mengkondisikan terjadinya fragmentasi sosial dan
politik di tengah masyarakat. Memang ada pemikiran-pemikiran apakah perlu
regulasi untuk membatasi pemilik media massa dengan partai politik. Ini yang
menurut saya perlu didiskusikan. Itu indikator pertama. Indikator kedua
didorong oleh pertumbuhan media online. Pers online ini punya kebutuhan update
informasi atau berita yang cepat bahkan dalam hitungan menit. Ini mengakibatkan
rekrutmen insan pers yang luar biasa besar. Tapi saya secara pribadi menilai
kapasitas insan pers ini jauh mengalami penurunan dibanding masa-masa
sebelumnya akibat rekrutmen masif tersebut. Ini memang tugas besar karena jika
profesionalisme dan kapasitas insan pers ini tidak dipersiapkan, saya khawatir
ini akan menjadi masalah baru. Ini tanggung jawab media massa, Dewan Pers,
pemerintah juga dan DPR juga. Sedangkan persoalan ketiga adalah, dengan
banyaknya media massa kita harus punya common interest (kepentingan bersama)
terlepas media massa cetak atau online boleh saja partisan, tapi kita harus
tetap punya common interest, common agenda atas nama kepentingan nasional atau
national interest. Terus terang sampai saat ini kita belum punya platform ini
karena tidak ada satu pihak yang punya keberanian atau merasa punya kewenangan
untuk mengambil inisiatif itu. Apakah Dewan Pers, pemerintah atau siapa? Ini
misalnya kalau dikaitkan dengan fungsi pers di bidang yang lain, misalnya
hiburan. Sekarang ini infotainment berkembang begitu pesat. Tapi kan seringkali
infotaiment yang ditayangkan media massa baik cetak, elektronik, online dan
yang lainnya itu seperti paradoks dengan nilai-nilai dan jatidiri kebangsaan
yang ingin kita bangun atau yang kita butuhkan. Masyarakat kita harus bergerak
menjadi semakin rasional, tapi seringkali infotaiment itu menggiring orang
bertindak atau berpikir irasional. Baik soal mistik, hipnotis dan sebagainya.
Ini juga menjadi pekerjaan rumah kita. Jadi menurut saya dalam konteks hari
pers nanti maka isu-isu ini harus menjadi fokus bahasan.
Anda punya catatan-catatan kritis terhadap perjalanan pers pasca
reformasi, lalu bagaimana cara mengatasinya apakah dengan revisi UU Pers No
40/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002?
Saya melihat begini. Upaya untuk menyempurnakan UU Pers seringkali
dipersepsi sebagai upaya untuk menarik kembali kebebasan pers. Persepsi ini
harus kita hilangkan dulu. Dan kalaupun kita ingin melakukan penyempurnaan UU
Pers yang ada itu harus berangkat dari common understanding semua pihak. Semua
stake holder. Artinya kalangan pers sendiri merasa bahwa ini ada persoalan yang
harus dijawab dengan undang-undang, kemudian DPR juga punya pandangan begitu
dan masyarakat juga begitu, pemerintah juga begitu, di mana titik temunya,
itulah di mana kita bisa mengajukan revisi. Karena kalau tidak saya khawatir,
persepsi tadi akan selalu muncul. Saya juga di DPR tidak mau ketika saya
menganggap UU Pers ini perlu dilakukan penyempurnaan, tapi nanti oleh kalangan
pers dipersepsi sebagai upaya untuk mendeliberalisasi pers. Ini kan sia-sia,
upaya untuk mencari nilai tambah malah jadi ribut sendiri.
Sejauh ini belum ada common understanding itu?
Memang sejauh ini belum ada satu gagasan yang konkrit untuk
melakukan penyempurnaan atau revisi undang-undang pers walaupun ada
masalah-masalah yang berkembang dari dinamika yang ada. Saya sebenarnya ingin
mendorong pemerintah misalnya lewat Kemenkominfo mengambil inisiatif semacam
urun-rembuk nasional. Kita bisa gunakan momentum hari pers untuk urun-rembuk
nasional. Kita berbicara tentang jatidiri pers sendiri, bukan dari aspek
jurnalistik semata, tapi media massa secara keseluruhan. Di situ kita coba
identifikasi persoalan-persoalan strategis kita, apa tantangan dan kebutuhan
bangsa ke depan dan penyesuaian-penyesuaian apa yang harus kita lakukan, baik
oleh industri medianya, oleh lembaga-lembaga semacam dewan pers-nya, oleh
pemerintah, DPR, termasuk juga aspek undang-undang itu. Jadi saya sendiri belum
punya satu gagasan kalau ada perubahan, perubahan seperti apa? Lebih baik
jembatannya itu ada satu hajatan, urun-rembuk nasional, tentang pers Indonesia.
Bagaimana dengan peran Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia
apakah bisa mengatasi persoalan yang dihadapi pers?
Bisa saja sepanjang kita sepakati dan kewenangan itu diberikan oleh
undang-undang. Masalahnya kan kewenangan itu tidak ada dalam undang-undang. KPI
sebagai contoh, itu tidak punya kewenangan terkait dalam pembinaan insan
pertelevisian sehingga kemampuan insan pertelevisian lebih kompatibel dengan
aturan main yang ada. Sebagai contoh P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran) atau Dewan Pers melakukan pembinaan terhadap insan pers
sehingga kompatibel dengan Kode Etik Pers. Tapi persoalan kita kan bukan
sekadar kode etik atau P3SPS. Persoalan kita adalah, apakah kebutuhan kita
sebagai bangsa dan negara ke depan ini? Lalu pers macam apa yang kita butuhkan
kemudian manusia-manusia dengan kapasitas seperti apa yang harus kita bina?
Lalu model relasi media massa dengan stake holder lain termasuk politik itu
seperti apa? Ini bukan berarti kita mau mengatur pers harus begini dan harus
begitu. Semua itu memang harus diatur, negara saja diatur apalagi pers. Ini
menurut saya tidak bisa hanya hasil olah pikir satu kepala harus rembuk
nasional.
Mungkinkan Menkominfo mengambil inisiasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar