28 Oktober 2017

Profil

Pers Harus Sepakati Agenda Nasional

            Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2015 ini akan menjadi momentum penting untuk mengevaluasi kembali apakah kebebasan pers yang direngkuh sejak reformasi bergulir 17 tahun silam itu sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia? Kebebasan memang sudah didapat, tetapi apakah pemberitaan pers yang informatif, edukatif sekaligus konstruktif untuk pembangunan jatidiri bangsa ini juga sudah tercipta?

            Pertanyaan reflektif semacam itu sengaja dilontarkan untuk menjadi bahan renungan pada peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2015 yang akan digelar di Indragiri Hilir, pertengahan Februari ini, agar pers nasional dapat bercermin pada jati dirinya, menimbang kembali peran, tugas dan tanggungjawabnya, serta tidak melupakan tujuan konstitusi kita yakni “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

            Untuk membuka kembali catatan sejarah perjalanan pers pasca reformasi, berikut wawancara dengan Ketua I DPR RI Drs. H. Mahfudz Siddiq, M.Si. yang tugasnya memang membidangi masalah komunikasi dan informasi di DPR:


            Apa pendapat Anda tentang pers pasca reformasi di usianya yang menginjak ke-17 tahun ini?

Memang sejak reformasi itu kita bersyukur karena pers tumbuh berkembang dalam era kebebasan dan ini positif bagi akses masyarakat terhadap informasi dan juga bagi pendewasaan masyarakat di dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Itu tetap merupakan sesuatu yang patut disyukuri, walaupun kita melihat bahwa perkembangan industri media massa ini masih didominasi oleh media elektronik. Pers cetak selain trend dunia sedang mengalami penurunan, memang di dalam negeri juga kita melihat trend yang sama. Walaupun di tingkat lokal kita melihat kemunculan media massa-media massa cetak untuk versi lokal. Ini satu hal yang penting dan menarik sehingga akses informasi itu bukan saja didapatkan dalam skala nasional tetapi juga dalam skala lokal. Tentu saja kita semua punya kewajiban untuk menjaga tumbuh-kembangnya pers dan media massa di Indonesia. Kita semakin menyadari peran penting pers dan media massa ini sebagai pilar demokrasi.

Lalu apa saja catatan Anda terhadap pers pasca reformasi?

Saya ingin menggarisbawahi bahwa arus kebebasan ini harus kita bangun ke arah titik keseimbangan. Karena dalam 16 tahun perjalanannya ini kita mulai melihat ada urgensi untuk mendorong pers pada titik keseimbangan yang baru. Indikasinya, yang pertama adalah mulai menguatnya relasi antara politik dan media massa. Mungkin bagi media massa cetak hal ini tidak terlalu menjadi persoalan. Tapi bagi media massa elektronik seperti televisi, yang menggunakan frekuensi publik, relasi antara media massa dan politik ini harus dicermati secara lebih khusus. Apalagi akses masyarakat terhadap media televisi ini jauh lebih besar ketimbang terhadap media cetak. Jangan sampai kemudian relasi media massa elektronik televisi ini mengkondisikan terjadinya fragmentasi sosial dan politik di tengah masyarakat. Memang ada pemikiran-pemikiran apakah perlu regulasi untuk membatasi pemilik media massa dengan partai politik. Ini yang menurut saya perlu didiskusikan. Itu indikator pertama. Indikator kedua didorong oleh pertumbuhan media online. Pers online ini punya kebutuhan update informasi atau berita yang cepat bahkan dalam hitungan menit. Ini mengakibatkan rekrutmen insan pers yang luar biasa besar. Tapi saya secara pribadi menilai kapasitas insan pers ini jauh mengalami penurunan dibanding masa-masa sebelumnya akibat rekrutmen masif tersebut. Ini memang tugas besar karena jika profesionalisme dan kapasitas insan pers ini tidak dipersiapkan, saya khawatir ini akan menjadi masalah baru. Ini tanggung jawab media massa, Dewan Pers, pemerintah juga dan DPR juga. Sedangkan persoalan ketiga adalah, dengan banyaknya media massa kita harus punya common interest (kepentingan bersama) terlepas media massa cetak atau online boleh saja partisan, tapi kita harus tetap punya common interest, common agenda atas nama kepentingan nasional atau national interest. Terus terang sampai saat ini kita belum punya platform ini karena tidak ada satu pihak yang punya keberanian atau merasa punya kewenangan untuk mengambil inisiatif itu. Apakah Dewan Pers, pemerintah atau siapa? Ini misalnya kalau dikaitkan dengan fungsi pers di bidang yang lain, misalnya hiburan. Sekarang ini infotainment berkembang begitu pesat. Tapi kan seringkali infotaiment yang ditayangkan media massa baik cetak, elektronik, online dan yang lainnya itu seperti paradoks dengan nilai-nilai dan jatidiri kebangsaan yang ingin kita bangun atau yang kita butuhkan. Masyarakat kita harus bergerak menjadi semakin rasional, tapi seringkali infotaiment itu menggiring orang bertindak atau berpikir irasional. Baik soal mistik, hipnotis dan sebagainya. Ini juga menjadi pekerjaan rumah kita. Jadi menurut saya dalam konteks hari pers nanti maka isu-isu ini harus menjadi fokus bahasan.

Anda punya catatan-catatan kritis terhadap perjalanan pers pasca reformasi, lalu bagaimana cara mengatasinya apakah dengan revisi UU Pers No 40/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002?

Saya melihat begini. Upaya untuk menyempurnakan UU Pers seringkali dipersepsi sebagai upaya untuk menarik kembali kebebasan pers. Persepsi ini harus kita hilangkan dulu. Dan kalaupun kita ingin melakukan penyempurnaan UU Pers yang ada itu harus berangkat dari common understanding semua pihak. Semua stake holder. Artinya kalangan pers sendiri merasa bahwa ini ada persoalan yang harus dijawab dengan undang-undang, kemudian DPR juga punya pandangan begitu dan masyarakat juga begitu, pemerintah juga begitu, di mana titik temunya, itulah di mana kita bisa mengajukan revisi. Karena kalau tidak saya khawatir, persepsi tadi akan selalu muncul. Saya juga di DPR tidak mau ketika saya menganggap UU Pers ini perlu dilakukan penyempurnaan, tapi nanti oleh kalangan pers dipersepsi sebagai upaya untuk mendeliberalisasi pers. Ini kan sia-sia, upaya untuk mencari nilai tambah malah jadi ribut sendiri.

Sejauh ini belum ada common understanding itu?

Memang sejauh ini belum ada satu gagasan yang konkrit untuk melakukan penyempurnaan atau revisi undang-undang pers walaupun ada masalah-masalah yang berkembang dari dinamika yang ada. Saya sebenarnya ingin mendorong pemerintah misalnya lewat Kemenkominfo mengambil inisiatif semacam urun-rembuk nasional. Kita bisa gunakan momentum hari pers untuk urun-rembuk nasional. Kita berbicara tentang jatidiri pers sendiri, bukan dari aspek jurnalistik semata, tapi media massa secara keseluruhan. Di situ kita coba identifikasi persoalan-persoalan strategis kita, apa tantangan dan kebutuhan bangsa ke depan dan penyesuaian-penyesuaian apa yang harus kita lakukan, baik oleh industri medianya, oleh lembaga-lembaga semacam dewan pers-nya, oleh pemerintah, DPR, termasuk juga aspek undang-undang itu. Jadi saya sendiri belum punya satu gagasan kalau ada perubahan, perubahan seperti apa? Lebih baik jembatannya itu ada satu hajatan, urun-rembuk nasional, tentang pers Indonesia.

Bagaimana dengan peran Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia apakah bisa mengatasi persoalan yang dihadapi pers?

Bisa saja sepanjang kita sepakati dan kewenangan itu diberikan oleh undang-undang. Masalahnya kan kewenangan itu tidak ada dalam undang-undang. KPI sebagai contoh, itu tidak punya kewenangan terkait dalam pembinaan insan pertelevisian sehingga kemampuan insan pertelevisian lebih kompatibel dengan aturan main yang ada. Sebagai contoh P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) atau Dewan Pers melakukan pembinaan terhadap insan pers sehingga kompatibel dengan Kode Etik Pers. Tapi persoalan kita kan bukan sekadar kode etik atau P3SPS. Persoalan kita adalah, apakah kebutuhan kita sebagai bangsa dan negara ke depan ini? Lalu pers macam apa yang kita butuhkan kemudian manusia-manusia dengan kapasitas seperti apa yang harus kita bina? Lalu model relasi media massa dengan stake holder lain termasuk politik itu seperti apa? Ini bukan berarti kita mau mengatur pers harus begini dan harus begitu. Semua itu memang harus diatur, negara saja diatur apalagi pers. Ini menurut saya tidak bisa hanya hasil olah pikir satu kepala harus rembuk nasional.

Mungkinkan Menkominfo mengambil inisiasi?

Pemerintah sebagai stake holder utama negara karena dia yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari dan bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan, dia bisa mengambil posisi sebagai inisiator. Tapi bukan sebagai pemegang otoritas tunggal, tidak. Dan saya yakin kalangan media akan menyambut baik. Dan kita punya momentum untuk itu yakni Hari Pers Nasional. (Hasyim)

Tidak ada komentar: