26 April 2020

Ramadhan 1441 H


“Ikan Gurame Bakar, Ternyata Boljug


            Selama lebih dari satu bulan terakhir ini, hampir semua pegawai atau pekerja di DKI Jakarta dan sekitarnya merasakan apa yang namanya bekerja dari rumah atau Work from Home (WfH). Jadi bekerjanya dari rumah saja. Tidak usah ke kantor. Ini sebagai kebijakan pencegahan atas mewabahnya Corona Virusdiesase atau (Covid-19).
            Pada awalnya, WfH tentu sangat menyenangkan. Tidak usah capek-capek ke kantor. Tidak perlu bermacet-macet ria di jalanan dan buang-buang waktu serta tenaga. Uang juga. Pokoknya asyik. Sebab dengan WfH tubuh menjadi lebih segar, waktu lebih luang, tenaga lebih hemat dan yang pasti pengeluaran uang juga lebih efisien.
            Pada pekan pertama dan kedua, WfH masih mengasyikan. Memasuki pekan ketiga dan keempat mulai terasa membosankan. Mood bekerja semakin sulit didapatkan. Bawaannya pengin selalu merebahkan diri yang berujung ketiduran dibanding baca-baca artikel untuk mengisi waktu luang layaknya di kantor.
            Dan kebosanan itu terasa lebih memuncak saat memasuki bulan Ramadhan 1441 H/2020 M. Bukan saja karena semua aktivitas harus dilaksanakan di rumah—yang mengakibatkan kebosanan semakin meningkat, melainkan juga pada Ramadhan kali ini tidak ada lagi momentum berbuka puasa bersama di luar rumah.
            Dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan Pemerintah Kota Depok sejak pertengahan April 2020, semua rumah makan dilarang menyajikan makanan di tempat atau dine in tetapi harus take away alias dibungkus. Alhasil acara buka puasa di luar rumah untuk Ramadhan kali ini tidak bisa ditunaikan.
            Padahal acara buka puasa di luar rumah merupakan aktivitas yang menyenangkan. Buka puasa bersama keluarga di luar rumah adalah momentum yang sangat berharga di bulan Ramadhan. Tidak hanya menikmati makanannya—yang selalu terasa lezat setelah berpuasa seharian, tetapi yang tak kalah penting adalah menikmati kebersamaan.
            Nah, untuk mengusir kejenuhan di rumah sekaligus juga menghangatkan kebersamaan saat berbuka puasa, ide mama’e untuk bakar ikan gurame di rumah ternyata boleh juga alias boljug. Pas akhir pekan, sehabis makan sahur dan tidur untuk babak yang kedua, dimulailah hunting ikan gurame di Pasar Pucung—pasar tradisional di dekat kami tinggal.
            Tak sulit untuk mencari ikan gurame, harganya pun relatif terjangkau. Usai mengatungi hasil buruan, istri langsung menyisik kulit ikan dan menyimpannya di dalam freezer begitu sampai di rumah. Ikan inilah yang bakal menjadi menu berbuka puasa layaknya berbuka puasa di rumah makan seafood di bilangan Depok II yang merupakan langganan kami.
            Selepas waktu Ashar, mulailah membuat bara api. Agak sulit, tetapi dengan pengalaman barbeque pada malam Tahun Baru maka tugas itu bisa dilaksanakan. Bara api mulai berkobar. Ikan gurame yang sudah diolah dan dibersihkan lantas ditidurkan di atas perapian. Tak terasa, diselingi ngobrol dan membolak-balikkan ikan gurame sambil dikipasi, ternyata matang juga ikannya.
            Dan, wangi ikan gurame bakar yang meruap di pekarangan rumah hingga ke lantai atas—tempat anak-anak berkumpul—semakin menggugah selera makan. Anak-anak pun turun. Selekas kemudian terdengar Adzan Maghrib. Alhamdulillah, Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa’ala rizkika aftortu, birohmatika ya arhamar rahimin..
            Sikaaattt!!***

17 April 2020

Study from Home


Anak Pun Ikutan Teleconference

            Dalam upaya menekan tingkat penyebaran Corona Virusdisease 2019 (Covid-19) yang semakin meluas, Pemerintah menerapkan kebijakan bekerja dari rumah (Work from Home), belajar dari rumah (Study from Home) dan juga beribadah di dalam rumah atau Pray at Home.
            Kebijakan ini mengharuskan semua aktivitas itu dilakukan di dalam rumah, kecuali yang sifanya benar-benar penting dan darurat. Oleh sebab itulah selama sekitar satu bulan ini aktivitas kerja, aktivitas belajar maupun aktivitas peribadatan lebih banyak dilakukan di dalam rumah.
            Metode belajar dari rumah bagi anak-anak sekolah di Kota Depok, efektif berlaku sejak pertengahan Maret 2020. Setiap anak didik wajib belajar dari rumah. Materi pelajaran dikirim oleh gurunya melalui group WA orang tua murid. Hasil belajar dan tugas-tugas yang sudah dikerjakan pada hari itu harus difoto dan dikirimkan via WA kepada gurunya pada hari itu juga. Untuk membuktikan bahwa anak sudah benar-benar belajar—meskipun bisa juga dikerjakan oleh kakak atau orang tuanya.
            Namun, setelah sebulan belajar di rumah, anak-anak sekolah mulai merasa bosan. Jenuh. Aktivitas belajar yang biasanya diisi dengan aktivitas bermain bersama teman-temannya di sekolah kini tidak bisa dilakukan lagi. Karena itulah mereka merasakan kerinduan untuk bisa kembali belajar di sekolah.
            “Pih kapan sih aku bisa sekolah lagi?” pertanyaan anak bontot ini paling sulit untuk dijawab sebab tidak ada yang bisa memastikan kapan wabah corona berakhir.
            Untuk menentramkan kegundahan hati sang anak, biasanya aktivitas di halaman rumah menjadi jawaban. Misalnya bermain bola atau bersepeda di samping rumah. Atau yang paling manjur dibawa ke minimarket terdekat—dengan protokol kesehatan yang ketat.
            Sadar bahwa anak-anak didiknya sudah mulai jenuh belajar secara mandiri di rumah, sang guru memberikan penawar: memberikan materi belajar secara virtual dengan menggunakan aplikasi teleconference yakni zoom meeting (baca: tanpa endorsement).
            Dengan aplikasi teleconference ini, keceriaan anak-anak terbayar. Kerinduan pun hilang. Anak-anak kembali bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman-temannya meskipun secara virtual.
            Enak gak belajar kayak begini? “Enak pih, jadi ketemu lagi sama teman-teman,” kata anak bontot, girang.
            “Kamu enak, tapi apih enek karena kalau keseringan kuota bisa cepet habis,” batin bapaknya.
Sekian!

15 April 2020

PSBB


“Di Tempat Tidur Saja Rapet!”
Biasanya, aktivitas pagi diisi dengan kegiatan rutin TERNAK TERI alias nganTER aNAK dan nganTER Istri sebelum berangkat menuju kantor. Tapi, setelah wabah Covid-19 merebak pertengahan Maret 2020, anak diminta belajar dari rumah atau Study from Home (SfH) dan bapaknya juga Work from Home (WfH) alias bekerja dari rumah. Hanya ibunya saja yang masih tetap harus bekerja ke luar rumah karena tugasnya di rumah sakit.
Karena itu, aktivitas pagi hari kini hanya diisi dengan TERI alias nganTER Istri. Tidak ada lagi TERNAK alias nganTER aNAK. Dan tugas mengantar istri ini dilakukan dua kali sehari, yakni pada pagi hari untuk mengantar istri berangkat kerja dan sore harinya adalah menjemput istri pulang kerja.
Tidak ada perbedaan berarti selama mengantar-jemput istri pada masa penanggulangan Covid-19 ini, kecuali jalanan yang lebih lengang dibanding pada masa sebelum adanya wabah tersebut. Di luar itu, lebih banyak kecemasan dan ketakutan saja jikalau Covid-19 menjangkiti kami.
Tapi ada pemandangan baru setelah Pemerintah Kota Depok melalui Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan disetujui Kementerian Kesehatan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Aturan ini efektif berlaku di Kota Depok mulai 15 April 2020, setelah dua hari sebelumnya dilakukan sosialisasi kepada para pengguna jalan.
Aturan PSBB mewajibkan: pengendara sepeda motor hanya berkendaraan sendiri alias dilarang membonceng kecuali barang; pengemudi mobil sedan hanya bisa membawa 2 penumpang di kursi belakang; pengemudi mobil minibus hanya bisa membawa 3 penumpang yakni 2 di kursi tengah dan satu di kursi paling belakang; serta bus hanya diizinkan mengangkut separuh dari jumlah kursi penumpang.
Aturan ini berarti bahwa setiap pengemudi kendaraan roda empat hanya diizinkan seorang diri berada di belakang kemudi. Kursi samping kemudi harus dibiarkan kosong.
Tugas TERI pada Rabu pagi 15 April 2020 menjadi saksinya. Di ujung Jalan Margonda persis menjelang kampus Universitas Indonesia, lalu-lintas yang sedianya lengang mendadak tersendat. Rupanya ada titik kemacetan menjelang naik ke arah Jakarta/kampus UI, selain juga ada pengerucutan jalan (bottle neck) dari 3 lajur menjadi satu lajur.
Awalnya yang terpikir ada kecelakaan lalu-lintas atau jalanan rusak. Semakin dekat dengan titik penyebab kemacetan kian terlihat ada penerapan PSBB: “Check Point Pengawasan Pelaksanaan PSBB. Polda Metro Jaya.” Sejumlah aparat kepolisian, Dinas Perhubungan dan juga petugas Satpol PP berjejer di pinggir jalan sambil melakukan pemeriksaan terhadap kendaraan yang lewat.
Sebuah mobil minibus di depan kami dicegat. Seorang petugas polisi meminta kaca mobil dibuka. Setelah berbincang sebentar petugas itu kemudian meminta kepada penumpang yang berada di sisi pengemudi untuk pindah ke kursi belakang. Adegan itu persis terlihat di depan mobil kami.
Sadar bahwa kami juga seperti itu karena istri duduk persis di sebelah saya, skenario dadakan pun keluar. Istri langsung lompat ke kursi belakang. Sejurus kemudian dia pura-pura duduk manis di kursi belakang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan, seperti diduga, pas melewati aparat pemeriksa yang berjejer di pinggir jalan, mobil kami lolos. Lega.
“Itu apa-apaan sih polisi itu? Emang perlu dijelaskan kalau kita suami-istri? Lha di mobil disuruh physical distancing tapi kan di tempat tidur kita rapet!” istri masih terus nyerocos di kursi belakang. Hadeeuuuhhh…

*Masih Stay at Home di GDC, 15 April 2020

11 April 2020

Feature



TUGAS KEMANUSIAAN

       IFA sewot bukan kepalang. Berita televisi yang mengabarkan ada jenazah perawat yang ditolak warga saat akan dikuburkan, 10 April 2020, sontak menyulut emosinya. “Awas kalau warga yang nolak itu kena corona, kita juga bisa nolak merawat dia,” sungutnya seolah menahan dendam.
    Dia mengaku tak habis pikir kenapa perawat RSUP dr. Kariadi Semarang yang meninggal akibat terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) itu ditolak jenazahnya. Padahal perawat itu meninggal akibat tertular oleh pasiennya yang mengidap Covid-19.
      “Ini ibarat seorang tentara yang gugur di medan perang saat membela tanah airnya, kemudian jenazahnya ditolak untuk dikuburkan di kampung halamannya sendiri. Ini kan sangat menyedihkan,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
      Seharusnya, kata Ifa, warga yang menolak jenazah perawat dengan alasan takut tertular Covid-19 itu berterima kasih karena masih ada orang yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk melawan virus mematikan tersebut. Bagaimana jadinya jika tidak ada perawat yang mau menjadi garda terdepan dalam melawan Covid-19.
      “Coba bayangkan kalau perawat tidak mau lagi menangani pasien yang terinfeksi Covid-19, siapa yang akan merawat dan menyembuhkan mereka? Memangnya mereka yang menolak jenazah perawat itu mau menanangani pasien Covid-19?!” tegas Ifa lagi sewot.
        Ifa merasakan betapa sakitnya keluarga perawat yang meninggal akibat Covid-19 itu. Tugas kemanusiaan yang diemban seorang perawat, bahkan sampai harus mengorbankan jiwanya sekalipun, ternyata dibalas dengan perlakuan yang tidak manusiawi. “Itu sangat kejam!” cetusnya.
      Sebagai anggota tim medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di wilayah Jakarta Selatan, Ifa merasakan betul betapa penanganan Covid-19 ini telah menyita banyak waktu, tenaga, pikirannya, bahkan sekaligus mempertaruhkan nyawanya.
        Terus terang, kata dia, jika disuruh memilih apakah mau diam di rumah atau bekerja di rumah sakit, Ifa tegas memilih di rumah. “Ya diam di rumahlah biar aman, di rumah sakit kan risiko tinggi tertular Covid-19. Tapi ini kan panggilan tugas,” ujarnya memelas.

Tidak Adil
        Ifa mencoba mengingat-ingat kapan virus corona mulai masuk ke Indonesia, persisnya ketika sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Wuhan, China, dipulangkan dan dikarantina selama dua pekan di Pulau Natuna, medio Februari 2020 lalu.
     Perkiraannya waktu itu masalah corona akan selesai setelah para WNI yang dipulangkan dari Wuhan itu dinyatakan negatif alias tidak terpapar Covid-19. Tapi rupanya itulah awal dari pandemic Covid-19 di Indonesia.
      Memasuki bulan Maret 2020 ancaman wabah Covid-19 kian nyata. Beberapa orang WNI terdeteksi positif Covid-19 dan sudah berinteraksi dengan banyak orang. Praktis jaring penularan Covid-19 semakin luas dan sulit ditelusuri.
    Pada awalnya peringatan bahaya Covid-19 masih ditanggapi dengan guyonan dan meme-meme kocak yang berseliweran di media sosial. Pemerintah pun tidak buru-buru menutup pintu masuk dari dan ke luar Indonesia serta menghentikan pergerakan masyarakat yang menjadi pusat penyebaran Covid-19.
      Puncaknya pertengahan Maret 2020 ketika Covid-19 benar-benar menjadi pandemik di tengah masyarakat. Jumlah warga yang terpapar Covid-19 perlahan tapi pasti terus merangkak dan mencapai angka ribuan orang.
     Ifa sadar, sebagai bagian dari tim medis, dia harus berada di garda terdepan dalam “perang” melawan Covid-19. Dia pun masuk dalam Gugus Tugas Covid-19 di rumah sakit tempatnya bekerja, dan bertugas melakukan screening atau memilah pasien yang datang untuk dipisahkan antara yang memiliki dan tidak memiliki gejala Covid-19.
       Tugas screening ini tidak ringan. Ibarat tentara di medan perang, dia mengemban tugas sebagai “penyapu ranjau.” Dia menjadi palang pintu pertama saat berhadapan dengan pasien yang terindikasi Covid-19. Tempatnya pun bukan di ruangan ber-AC tapi di bawah tenda yang didirikan di depan rumah sakit.
     Sejak awal bertugas, Ifa sudah merasa tidak nyaman dengan APD (Alat Perlindungan Diri) yang dikenakannya. Tidak ada APD standar WHO yang disiapkan oleh manajemen rumah sakit. Harga APD terlampau mahal sehingga diganti dengan APD seadanya: jas hujan, sepatu buat ke pasar serta face shield bikinan sendiri dari plastik mika bakal jilid paper.
    Jika ditanya takut, tentu Ifa sangat takut tertular. Apalagi dengan APD yang di luar standar. Tapi nalurinya memaksa dia untuk tetap menunaikan tugas kemanusiaan itu tanpa perlu menawar.
     Ifa juga memiliki dua orang anak. Dia tidak ingin pulang ke rumah membawa virus corona. Dia ingin kedua buah hatinya tetap sehat dan tidak terpapar virus corona, sekalipun dirinya sangat rentan terinfeksi Covid-19.
    Oleh karena itu, Ifa bercerita, ada seorang teman sejawatnya yang diminta oleh suaminya untuk tidak pulang sementara selama menangani pasien Covid-19. Alasannya supaya tidak membawa virus ke rumah karena bisa menular kepada anak-anaknya. Dia pun rela kost di samping rumah sakit tempatnya bekerja, tentu dengan memendam kerinduan yang sangat besar untuk bisa pulang ke rumah.
       Ada lagi cerita teman perawat Ifa yang setiap hari naik angkot Jak-Lingko untuk pulang-pergi dari rumah ke rumah sakit tempat kerjanya di Kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Baru saja naik angkot, seorang ibu paruh baya langsung tanya:
     “Neng kerja di rumah sakit?” tanya si ibu itu kepada teman sejawat Ifa yang kebetulan berseragam kerja dengan nama rumah sakit di dada kirinya.
      “Iya bu,” ujar si perawat.
      “Wah bahaya, turun neng!” hardik si ibu tadi.
    Terjadi perdebatan keras, tapi karena penumpang lain juga merasa lebih aman jika si perawat turun, maka sopir pun ikut-ikutan.
      “Udah turun aja neng,” kata si sopir.
    Tak ada pilihan, sang perawat rekan sejawat Ifa pun turun dari angkot dengan muka muram.
      Sungguh, perlakuan yang diterima para perawat saat ini benar-benar menyebalkan bagi Ifa dan teman-temannya. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Sejatinya dia ingin tetap bertugas merawat pasien Covid-19 sebagaimana tugas kemanusiaan yang melekat pada profesinya, tetapi dia berharap mendapatkan perlakuan yang sama dengan profesi lainnya.
      Maka itu, berita penolakan jenazah perawat yang meninggal akibat terpapar corona dari pasiennya, benar-benar memukul mental paramedis yang sampai kini masih berjuang merawat dan menyembuhkan para pasien Covid-19. Duh, tugas kemanusiaan yang dibalas dengan perlakuan yang tidak manusiawi!***
           
*Renungan saat stay at home di sebuah rumah di GDC, April 2020

7 April 2020

Raker dengan Mensos


Komisi VIII Dukung Refocusing Program Kemensos

JAKARTA - Komisi VIII DPR RI mendukung refocusing program dan relokasi anggaran Kementerian Sosial RI tahun 2020 yang akan diprioritaskan untuk perlindungan sosial bagi masyarakat yang terdampak kebijakan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dukungan itu terungkap dalam Rapat Kerja secara virtual antara Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Sosial RI Juliari P. Batubara, Selasa 7 April 2019. Raker dipimpin oleh Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto.
Dalam rapat itu terungkap bahwa Komisi VIII DPR RI mendukung Kementerian Sosial RI dalam program social safety net bagi masyarakat yang terdampak Covid-19, antara lain pemberian Sembako bagi keluarga rentan di DKI Jakarta, pemberian Sembako di wilayah Jabodetabek dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk keluarga miskin dan rentan di dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) maupun non-DTKS yang belum mendapatkan PKH dan Sembako.
Komisi VIII DPR RI bahkan mendorong Kemensos untuk mempercepat penyaluran bantuan sosial dengan memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat dan momentum menghadapi bulan Ramadhan dan Idul Fitri 1441 H/2020 M.
"Selain itu Komisi VIII DPR RI juga meminta Kementerian Sosial RI untuk memperhatikan Protokol WHO mengenai Penanganan Covid-19 bahwa dalam penyaluran program-program bansos harus menerapkan social and physical distancing agar tidak menambah penyebaran Covid-19," kata Yandri saat membacakan kesimpulan.
Komisi VIII DPR RI juga mendesak Menteri Sosial RI untuk memutakhirkan data penerima bantuan sosial dengan melibatkan Pemerintah Daerah, Kepala Desa/Lurah dan Gugus Tugas Covid-19 di daerah.
Selain itu, Komisi VIII DPR RI meminta Kementerian Sosial RI untuk membangun sinergi dan sinkronisasi program perlindungan sosial dengan Kementerian terkait, terutama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri serta Pemerintah Daerah.
"Komisi VIII DPR RI juga meminta Kemensos RI agar dapat memanfaatkan balai-balai dan panti-panti serta LKS di daerah yang dikelola oleh Kementerian Sosial atau Pemerintah Daerah untuk dijadikan tempat pelayanan atau isolasi bagi masyarakat penderita Covid-19," demikian kesimpulan rapat.***

6 April 2020

Raker dengan Gugus Tugas Covid-19



Gugus Tugas Covid-19 Siap Penuhi Kebutuhan APD

JAKARTA - Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Letjen Doni Monardo menyatakan siap memenuhi kebutuhan Alat Perlindungan Diri (APD) yang selama ini dikeluhkan khususnya oleh tenaga medis.
Kesiapan itu disampaikan Doni dalam Rapat Kerja secara virtual dengan Komisi VIII DPR RI, Senin 6 April 2020. Rapat kerja ini dipimpin oleh Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto.
Menurut Doni, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kini tengah meningkatkan pemenuhan kebutuhan APD, khususnya bagi dokter dan paramedis yang berjuang di barisan terdepan dalam melawan Covid-19.
Dia mengakui, koordinasi dan kerjasama dengan Kementerian, Lembaga atau Pemerintah Daerah dalam penanganan Covid-19 ini perlu ditingkatkan untuk mengurangi dampak sosial di tengah masyarakat, seperti memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan penanganan Covid-19.
Selain itu, Gugus Tugas juga akan menjalin sinergi dengan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat, Pers/Media, dunia usaha dan berbagai stakeholder untuk secara bersama-sama proaktif melakukan sosialisasi agar masyarakat menjaga jarak (physical distancing) dalam rangka memutus rantai penyebaran.
"Selain itu yang tak kalah penting adalah memobilisasi segala sumber daya nasional khususnya dalam bidang riset agar mampu melahirkan data-data forecasting yang lebih akurat dan terukur," ujarnya.
Doni setuju dengan Komisi VIII DPR RI untuk melakukan percepatan pembahasan terhadap Revisi Undang – Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dengan melakukan penguatan fungsi kelembagaan, aspek anggaran yang harus disediakan dalam APBN dan APBD, serta pengaturan penanganan bencana non-alam.***