Wartawan “Die Hard”
Saya
mengenal DR. H. Bambang Sadono, SH.,
MH. sebagai wartawan tulen. Aktivitasnya tidak pernah lepas dari kebiasaan wawancara
dan menulis. Saking menggemarinya kegiatan wawancara dan menulis, kadang dia
tidak bisa membedakan mana aktivitas wartawan dan mana aktivitas anggota Dewan (pertama kali saya mengenalnya sebagai
anggota DPR RI Periode 1999-2004).
Sebagai anggota Dewan,
pak BS--demikian dia biasa disapa--bisa saja mengundang menteri, dirjen ataupun direksi BUMN apabila
ingin menggali informasi tertentu. Tapi yang terjadi pak BS seringkali
harus menempuh prosedur formal seperti mengajukan permohonan wawancara melalui
humas, mengirim daftar pertanyaan (questionnaire)
dan, yang paling menjengkelkan adalah disuruh nunggu alias mengantri panjang
bersama tamu-tamu yang lain.
Tapi ya begitulah pak
BS. Darah wartawannya mengalir terlalu deras melebihi sikap dan
perilakunya sebagai pejabat Negara. Maka wajar saja jika dia tetap menikmati aktivitas
kewartawanannya itu dengan penuh semangat tanpa terbebani oleh pin “Garuda”
yang melekat di dada kirinya (saya malah sering melihat narasumbernya yang
lebih “tertekan” karena diwawancarai oleh anggota Dewan).
Sejak memimpin awak
redaksi Harian Umum Suara Karya medio
2000 silam kalau tidak salah, pak BS sudah menunjukkan kinerja yang jauh
berbeda dengan pendahulunya—pimred sebelumnya sangat kalem dan lebih suka
menghabiskan waktu di ruangannya untuk membaca dan mengetik editorial. Kalau Pak
BS justru sebaliknya: tidak bisa diam, rajin jalan atau bolak-balik gedung
Senayan dan gedung AKA (kantor Suara
Karya) atau melakukan lobi ke sana-ke mari tanpa melupakan tugas utamanya menulis
tajuk rencana dan mengendalikan rapat redaksi.
Di era kepemimpinan pak
BS, dikenal rapat proyeksi yang dimulai pukul 09.00 WIB. Rapat ini
diadakan oleh awak redaksi dari redaktur ke atas untuk membahas agenda atau
isu-isu yang akan dikembangkan pada hari itu. Nanti pada rapat redaksi pukul
16.00 WIB akan diketahui agenda atau isu apa saja yang berhasil digarap
wartawan di lapangan untuk kemudian di-listing
dan didistribusikan ke setiap halaman.
Yang menjadi persoalan
bukan rapatnya tetapi waktunya yang dimulai pukul 09.00 pagi. Bagi para
redaktur atau redpel yang terbiasa melek untuk mempersiapkan halaman koran
sampai pukul 01.00 dinihari, siksaan terberat dalam hidup itu adalah bangun
pagi. Karena mereka rata-rata tinggal di pinggiran Jakarta yang baru bisa
sampai rumah pukul 02.00 atau 03.00 dinihari. Artinya jika mereka harus sampai
kantor lagi pukul 09.00 berarti mereka hanya bisa tidur 3-4 jam untuk kemudian
bangun lagi dan berjuang kembali menembus kemacetan pagi di jalan-jalan
Jakarta.
Itulah yang diajarkan
pak BS. Pak BS mengajarkan bahwa profesi wartawan harus
digeluti dengan passion. Dengan
hasrat yang meluap-luap. Jadi tidak terasa capek. Buktinya pak BS yang
waktu itu tinggal di Perumahan Pesona Khayangan Depok juga bisa datang ke
kantor Suara Karya pada pagi hari
padahal sama-sama melek di kantor sampai tengah malam. Jadi pak BS mengajarkan kerja keras. Itu pula yang menyebabkan saya malu apabila tidak ikut
rapat proyeksi pagi hari.
Bukan hanya mengajarkan
kerja keras, pak BS juga mengajarkan bekerja secara cerdas. Sadar
bahwa gaji wartawan itu tidak akan bisa membuat orang menjadi kaya—untuk tidak
mengatakan kecil—maka pak BS mengajari bagaimana mencari iklan. Siapapun
diperkenankan untuk mencari iklan, baik awak redaksi maupun bidang usaha. Semua
sama. Yang mendapatkan iklan akan memperoleh komisi.
Memang ada perdebatan
bahwa wartawan mencari iklan itu akan mengikis atau bahkan menghilangkan
idealismenya sebagai pewarta berita. Tetapi pak BS membuktikan bahwa
idealisme dan komersialisme bisa berjalan beriringan. Idealisme Koran harus dijaga
tetapi komersialisme halaman alias iklan juga tetap dipelihara. Jangan
dipertentangkan. Karena tanpa pemasukan iklan maka Koran akan collapse. Dan terbukti di masa
kepemimpinan pak BS Koran Suara
Karya tetap berkibar.
Kalaupun Koran Suara Karya belum mampu menembus jajaran
media mainstream di Jakarta pada
waktu itu, saya yakin bukan karena pak BS tidak tahu caranya, tetapi
karena tidak diberi kesempatan untuk melakukannya. Ide dan kreativitas pak
BS mengenai reposisi Koran dari Koran partai menjadi Koran professional
sudah sering diuraikan. Bahkan rebranding
Koran dengan mengganti nama Suara Karya
pun sudah pernah dia lontarkan. Namun dengan alasan historis ide itu selalu
membentur karang.
Dan selayaknya partai
yang dinamikanya sangat ditentukan oleh rezim yang sedang berkuasa, suksesi
kepemimpinan di Suara Karya juga
terjadi manakala Munas Golkar tiba. Pasca Munas Golkar di Bali tahun 2004, pak
BS digantikan. Tetapi hasrat dan kegemarannya menulis tak tergantikan. Dia
pun mendirikan Majalah Legislatif
untuk melanjutkan aktivitas kewartawanan.
Sepengetahuan saya, selepas
dari Suara Karya aktivitas
kewartawanan pak BS lebih dashyat lagi. Dia tidak hanya mendirikan dan
mengelola Majalah Legislatif
melainkan juga majalah kampus, majalah komunitas bahkan buku-buku juga. Gairah
pak BS akan kenikmatan dunia wartawan seolah terus meluap tanpa bisa
disekat oleh jabatan politik yang disandangnya dan juga lembaga yang
menaunginya. Bagi saya, pak BS adalah wartawan yang tidak ada matinya
alias wartawan die hard!***
*Mohammad Hasyim, SS., M.Si adalah mantan wartawan Suara Karya dan sekarang
bekerja sebagai Tenaga Ahli Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar