28 Oktober 2017

Profil


Wartawan “Die Hard”

            Saya mengenal DR. H. Bambang Sadono, SH., MH. sebagai wartawan tulen. Aktivitasnya tidak pernah lepas dari kebiasaan wawancara dan menulis. Saking menggemarinya kegiatan wawancara dan menulis, kadang dia tidak bisa membedakan mana aktivitas wartawan dan mana aktivitas anggota Dewan  (pertama kali saya mengenalnya sebagai anggota DPR RI Periode 1999-2004).
Sebagai anggota Dewan, pak BS--demikian dia biasa disapa--bisa saja mengundang menteri, dirjen ataupun direksi BUMN apabila ingin menggali informasi tertentu. Tapi yang terjadi pak BS seringkali harus menempuh prosedur formal seperti mengajukan permohonan wawancara melalui humas, mengirim daftar pertanyaan (questionnaire) dan, yang paling menjengkelkan adalah disuruh nunggu alias mengantri panjang bersama tamu-tamu yang lain.
Tapi ya begitulah pak BS. Darah wartawannya mengalir terlalu deras melebihi sikap dan perilakunya sebagai pejabat Negara. Maka wajar saja jika dia tetap menikmati aktivitas kewartawanannya itu dengan penuh semangat tanpa terbebani oleh pin “Garuda” yang melekat di dada kirinya (saya malah sering melihat narasumbernya yang lebih “tertekan” karena diwawancarai oleh anggota Dewan).

Sejak memimpin awak redaksi Harian Umum Suara Karya medio 2000 silam kalau tidak salah, pak BS sudah menunjukkan kinerja yang jauh berbeda dengan pendahulunya—pimred sebelumnya sangat kalem dan lebih suka menghabiskan waktu di ruangannya untuk membaca dan mengetik editorial. Kalau Pak BS justru sebaliknya: tidak bisa diam, rajin jalan atau bolak-balik gedung Senayan dan gedung AKA (kantor Suara Karya) atau melakukan lobi ke sana-ke mari tanpa melupakan tugas utamanya menulis tajuk rencana dan mengendalikan rapat redaksi.
Di era kepemimpinan pak BS, dikenal rapat proyeksi yang dimulai pukul 09.00 WIB. Rapat ini diadakan oleh awak redaksi dari redaktur ke atas untuk membahas agenda atau isu-isu yang akan dikembangkan pada hari itu. Nanti pada rapat redaksi pukul 16.00 WIB akan diketahui agenda atau isu apa saja yang berhasil digarap wartawan di lapangan untuk kemudian di-listing dan didistribusikan ke setiap halaman.
Yang menjadi persoalan bukan rapatnya tetapi waktunya yang dimulai pukul 09.00 pagi. Bagi para redaktur atau redpel yang terbiasa melek untuk mempersiapkan halaman koran sampai pukul 01.00 dinihari, siksaan terberat dalam hidup itu adalah bangun pagi. Karena mereka rata-rata tinggal di pinggiran Jakarta yang baru bisa sampai rumah pukul 02.00 atau 03.00 dinihari. Artinya jika mereka harus sampai kantor lagi pukul 09.00 berarti mereka hanya bisa tidur 3-4 jam untuk kemudian bangun lagi dan berjuang kembali menembus kemacetan pagi di jalan-jalan Jakarta.
Itulah yang diajarkan pak BS. Pak BS mengajarkan bahwa profesi wartawan harus digeluti dengan passion. Dengan hasrat yang meluap-luap. Jadi tidak terasa capek. Buktinya pak BS yang waktu itu tinggal di Perumahan Pesona Khayangan Depok juga bisa datang ke kantor Suara Karya pada pagi hari padahal sama-sama melek di kantor sampai tengah malam. Jadi pak BS mengajarkan kerja keras. Itu pula yang menyebabkan saya malu apabila tidak ikut rapat proyeksi pagi hari.
Bukan hanya mengajarkan kerja keras, pak BS juga mengajarkan bekerja secara cerdas. Sadar bahwa gaji wartawan itu tidak akan bisa membuat orang menjadi kaya—untuk tidak mengatakan kecil—maka pak BS mengajari bagaimana mencari iklan. Siapapun diperkenankan untuk mencari iklan, baik awak redaksi maupun bidang usaha. Semua sama. Yang mendapatkan iklan akan memperoleh komisi.
Memang ada perdebatan bahwa wartawan mencari iklan itu akan mengikis atau bahkan menghilangkan idealismenya sebagai pewarta berita. Tetapi pak BS membuktikan bahwa idealisme dan komersialisme bisa berjalan beriringan. Idealisme Koran harus dijaga tetapi komersialisme halaman alias iklan juga tetap dipelihara. Jangan dipertentangkan. Karena tanpa pemasukan iklan maka Koran akan collapse. Dan terbukti di masa kepemimpinan pak BS Koran Suara Karya tetap berkibar.
Kalaupun Koran Suara Karya belum mampu menembus jajaran media mainstream di Jakarta pada waktu itu, saya yakin bukan karena pak BS tidak tahu caranya, tetapi karena tidak diberi kesempatan untuk melakukannya. Ide dan kreativitas pak BS mengenai reposisi Koran dari Koran partai menjadi Koran professional sudah sering diuraikan. Bahkan rebranding Koran dengan mengganti nama Suara Karya pun sudah pernah dia lontarkan. Namun dengan alasan historis ide itu selalu membentur karang.
Dan selayaknya partai yang dinamikanya sangat ditentukan oleh rezim yang sedang berkuasa, suksesi kepemimpinan di Suara Karya juga terjadi manakala Munas Golkar tiba. Pasca Munas Golkar di Bali tahun 2004, pak BS digantikan. Tetapi hasrat dan kegemarannya menulis tak tergantikan. Dia pun mendirikan Majalah Legislatif untuk melanjutkan aktivitas kewartawanan.
Sepengetahuan saya, selepas dari Suara Karya aktivitas kewartawanan pak BS lebih dashyat lagi. Dia tidak hanya mendirikan dan mengelola Majalah Legislatif melainkan juga majalah kampus, majalah komunitas bahkan buku-buku juga. Gairah pak BS akan kenikmatan dunia wartawan seolah terus meluap tanpa bisa disekat oleh jabatan politik yang disandangnya dan juga lembaga yang menaunginya. Bagi saya, pak BS adalah wartawan yang tidak ada matinya alias wartawan die hard!***
*Mohammad Hasyim, SS., M.Si adalah mantan wartawan Suara Karya dan sekarang bekerja sebagai Tenaga Ahli Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI

Tidak ada komentar: