DPD, Kewenangan
Versus Kinerja
Adalah amandemen Undang Undang Dasar
(UUD) 1945 yang memberikan embrio lahirnya parlemen dua kamar (bikameral),
yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun,
amandemen UUD 1945 pula, yang memberi desain bahwa fungsi dan kedudukan DPR
jauh lebih besar dan kuat dibanding DPD.
Karenanya, jika persoalan ini
ditanyakan kepada Ketua DPD Irman Gusman, sudah pasti bahwa dia akan setuju
dengan amandemen itu tetapi kurang setuju dengan hasilnya. Soalnya, fungsi dan
kedudukan DPD saat ini tidak lebih dari co-parliament atau semacam co-pilot di
dalam pesawat terbang sehingga tidak lebih dari “pemain cadangan.”
“Padahal konfigurasi DPR dengan DPD
ini berbeda. DPR berbasiskan ideologi partai sementara kita ini berdasarkan
keragaman di daerah. Makanya dalam pembahasan RUU Pornografi, Cagar Budaya atau
yang lainnya, suara kami tidak sama dengan suara DPR,” ujarnya.
Dia mengakui bahwa sejauh ini
hubungan dan komunikasi antara DPR dan DPD cukup baik. Pun dalam pembahasan
undang-undang. Misalnya dalam pembahasan RUU Keuangan Mikro, hubungan dan
komunikasi antara Komisi XI DPR dan Komisi II DPD berjalan cukup baik. “Tapi
ini harus dibakukan dalam Tata Tertib (Tatib),” katanya.
Dia juga menjelaskan, seperti yang
diamanatkan dalam amandemen UUD 1945 bahwa kekuasaan membuat undang-undang
berada di tangan DPR, maka kata akhir (last
word) pembuatan undang-undang pun berada di DPR. “Kita tidak diposisikan
secara sejajar dengan DPR,” ujarnya sembari menambahkan bahwa masalah DAU dan
DAK pun masih dibahas di “tetangga sebelah”.
Irman mengibaratkan amandemen UUD
1945 itu seperti pengalihan pendulum kekuasaan. Jika dulu kekuasaan yang kuat
berada di tangan eksekutif, kini beralih ke legislatif. Akibatnya, DPR
cenderung mengambil-alih kekuasaan eksekutif, misalnya dalam hal pengangkatan
duta besar, Kapolri dan Panglima TNI yang harus melibatkan DPR. “Padahal ini
kekuasaan eksekutif,” ujarnya.
Celakanya, tambah dia lagi, selain
DPR diberi kewenangan yang berlebih, kewenangan ini juga tidak dibagi secara
seimbang antara DPR dan DPD. Akibatnya DPR memiliki kewenangan yang luar biasa
besar dengan sumber daya yang terbatas. “Kita ingin amandemen UUD menjadi lebih
baik. Sebab siapapun yang menjadi presiden, meskipun terpilih 60 persen, itu
akan seperti ini. Bahkan kalau DPR sekarang tidak ada pengimbang DPD, bisa
lebih parah lagi,” ujarnya.
Untuk kembali melakukan amandemen terhadap
UUD 1945, Irman mengaku tidak mudah. Amandemen harus disetujui oleh 1/3 anggota
MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD. Jumlahnya jika 560 orang DPR ditambah 132 anggota
DPD maka harus disetujui oleh 230 anggota MPR (dari 692 anggota MPR). “Pertanyaannya,
untuk mengadakan sidang ini kan harus ada 2/3 anggota DPR yang hadir. Jadi
enggak gampang,” ujarnya.
Irman mengaku tidak menyerah dengan
kewenangan DPD yang serba terbatas. Dia tetap mengupayakan adanya mekanisme
kerja yang melembaga antara DPR dan DPD. Oleh sebab itu dia pun mengajukan
sedikitnya 10 point yang menyangkut mekanisme kerja antara DPR dan DPD, seperti
penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan, pembahasan RUU, rapat kerja DPR dengan
pemerintah, wakil DPD dalam pembahasan RUU di DPR, pembahasan RUU APBN, UU
terkait DPD, konsideran putusan DPR, konsideran UU hingga sidang bersama DPR
dan DPD. “Dari banyaknya hubungan dan mekanisme kerja yang kita ajukan, baru
satu point yang disetujui, yakni mengenai sidang bersama DPR dan DPD,” ujarnya.
Meski memiliki kewenangan terbatas,
DPD yang dibentuk sejak 2004 silam, sudah memberikan banyak arti bagi kehidupan
kenegaraan. Kata Irman, saat ini 17 persen APBN diberikan untuk daerah, meski
dia akan berjuang untuk meningkatkannya menjadi 30 persen. “Kami juga tahu
bahwa banyak alokasi dana seperti DAU yang akhirnya diserahkan kepada daerah
sehingga kalau dihitung-hitung jumlahnya memang lebih dari 30 persen,” katanya.
Dia merasakan bahwa pengakuan
terhadap DPD sebetulnya sudah bisa dirasakan. Selain tulisan di depan gedung
Senayan bertuliskan “Dewan Perwakilan Daerah” yang menunjukkan bahwa DPD juga
berkantor bersama MPR dan DPR, secara protokoler dirinya selalu diperlakukan
sebagai pemimpin lembaga tinggi negara.
Terhadap kekhawatiran bahwa
penguatan lembaga DPD akan mengidentikkan Indonesia sebagai negara federal,
Irman menepis kekhawatiran tersebut. “Kita sudah mengunci masalah sistem
kenegaraan ini dalam amandemen UUD 1945 bahwa negara kita berdasarkan
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika,” katanya.
Ditanya soal kiprahnya di bidang
politik, setelah sebelumnya lama berkecimpung dalam dunia bisnis, Irman
mengakui bahwa latar belakang dirinya adalah pengusaha. Namun dengan menjadi
pengusaha atau saudagar, Irman merasa dirinya bisa lebih independen. “Anda tahu
bahwa Sjahrir, Muhammad Hatta dan negarawan-negarawan kita adalah saudagar,”
ujarnya.
Dia merasa bahwa keputusannya untuk
terjun ke dunia politik adalah karena panggilan untuk mengabdi. Dia masuk ke
dunia politik dengan didukung Fraksi ABRI untuk menjadikan dirinya sebagai
anggota Utusan Daerah dari Provinsi Sumbar. “Saya waktu itu diminta ikut
menggolkan Pak Habibie menjadi presiden,” katanya.
Tentang keberpihakanya terhadap
pengusaha pribumi, seperti yang sebelumnya dia dikotomikan antara pentingnya
melindungi pengusaha pribumi daripada non-pribumi, Irman menilai masalah itu
sekarang sudah tidak relevan. “Setelah 1998, semua pengusaha non-pribumi juga
ambruk. BCA dan Astra juga diambil alih. Sekarang itu yang menguasai ekonomi
kita adalah koorporasi asing,” ujarnya.
Kedudukan DPD
Kedudukan DPD sebagai lembaga negara
tercantum dalam Pasal 22C dan 22D UUD 1945. Fungsi, tugas, dan wewenangnya
ditegaskan dalam Pasal 223 dan 224 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD,
yaitu mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR, ikut membahas RUU
tertentu, dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
tertentu.
Ketua DPD Irman Gusman optimistis
bahwa tugas konstitusional itu sudah dijalankan dengan menetapkan program-program
kerja dan target capaian yang dialokasikan dalam empat masa sidang melalui
masing-masing Komite sebagai alat kelengkapan. “DPD punya Komite I sampai
Komite IV,” katanya.
Ketua Komite I DPD Prof DR Farouk
Muhammad mengatakan, dalam konteks melakukan fungsi pengawasan terhadap
pelaksanaan beberapa undang-undang, salah satu yang disepakati adalah
memfokuskan perhatian pada penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada) langsung. ’’Saat ini, pemilukada langsung masih bagian dari UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan berhubungan dengan UU No
22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu,’’ katanya.
Dalam lima tahun terakhir ini,
lanjut Farouk, pemilukada memiliki berbagai rentetan persoalan. Karena itu,
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilukada yang
sedang dan akan berlangsung pada 2010 serta pembentukan RUU pemilukada, DPD
menyampaikan sejumlah rekomendasi.
Selain pemilukada, Komite I juga melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). ’’Selama ini pengelolaan tanah dan pertanahan di Indonesia belum cukup
baik dan bahkan sering menimbulkan gejolak sosial di masyarakat,’’ ujar Farouk.
Sedangkan Komite II DPD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No
30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Ketua Komite II Ir H Bambang Susilo MM
mengatakan, masalah kelistrikan di Indonesia ini sangat banyak. Antara lain,
buruknya tata kelola kelistrikan di masa lalu yang berakibat pada tidak
terpenuhinya permintaan masyarakat dan industri.
’’Hingga kini masih terjadi krisis listrik dan pemadaman bergilir di
sebagian besar wilayah Indonesia. Keadaan ini bertambah buruk dengan masih
adanya desa dan daerah terpencil yang belum terelektrifikasi,’’ katanya.
Ketua Komite III DPD DR Sulistiyo MPd mengatakan, pihaknya telah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 13/2008 tentang
Penyelenggaraaan Ibadah Haji berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji Tahun
2009/1430 H. ’’Pengawasan ini dilakukan tidak semata-mata wujud pelaksanaan
tugas konstitusional DPD, melainkan juga memenuhi aspirasi masyarakat daerah,’’
ujarnya.
Komite III juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ini berkenaan dengan pelaksanaan ujian
nasional tahun ajaran 2009-2010. Dari hasil pengawasan, DPD menyimpulkan bahwa
pelaksanaan UN 2010 bertentangan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 57 dan Pasal 58.
’’Karena itu, segala peraturan pelaksanaan berkenaan dengan UN harus
dicabut. Ujian nasional juga telah melanggar prinsip pedagogis, psikologis, dan
sosiologis serta pemborosan keuangan negara sehingga menimbulkan berbagai
dampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter
kuat.,’’ katanya.
Ketua Komite IV DPD Tonny Tesar mengatakan,
komite yang dipimpinnya telah melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang. Di antaranya mengenai UU tentang pajak dan UU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pengawasan atas pelaksanaan UU
perpajakan meliputi aspek kesadaran pajak di kalangan masyarakat di daerah,
kualitas pelayanan pajak oleh aparat perpajakan, optimalisasi pemanfaatan dan
penggalian potensi pajak, serta kendala yang dihadapi di daerah dalam
pelaksanaan undang-undang perpajakan.
“Yang sering terjadi adalah
perselisihan antara pembayar pajak dan pemungut pajak. Ini dapat menimbulkan
berbagai masalah, terutama bagi pembayar pajak yang kedudukannya dilemahkan
oleh pemungut pajak yang arogan. ’Menteri Keuangan harus segera membentuk
komite pengawas perpajakan yang profesional dan bermutu. Di samping itu, komisi
sejenis untuk daerah agar segera dibuat,’’ katanya.
Komite IV juga mengawasi pelaksanaan UU No 15/2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan. DPD telah menerima hasil pemeriksaan Semester I Tahun 2009
dari BPK dalam suatu Sidang Paripurna DPD RI. ’’Sesuai Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa lembaga perwakilan
menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan
kewenangannya,’’ kata Tonny.
Ketua DPD Irman Gusman menambahkan, dalam setahun terakhir atau dalam
kurun masa Sidang I sampai IV, DPD telah menghasilkan 39 produk, yakni satu
usulan RUU, 19 pandangan/pendapat, 15 hasil pengawasan dan empat pertimbangan
DPD berkait dengan anggaran.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, kata
Irman, DPD memiliki fungsi-fungsi perwakilan yang sama dengan semua lembaga perwakilan
lainnya, yakni menjadi jembatan penghubung kepentingan rakyat dengan kebijakan
pemerintah di tingkat pusat.
Bukan hanya itu, Irman Gusman
memastikan bahwa DPD akan segera meresmikan kantor DPD di ibukota 33 provinsi
di Indonesia, dengan anggaran sebesar Rp 677 miliar sebagai upaya penguatan
lembaga dalam menyerap aspirasi daerah. "Diharapkan kehadiran Kantor DPD
di ibu kota provinsi akan memperjelas pola interaksi antara anggota DPD dan
stakeholders, terutama konstituen dan pemerintah daerah," ujarnya.
Lebih lanjut dia menyebutkan, untuk tahun 2010 ini diharapkan akan
muncul 21 kantor baru DPD di daerah yang akan segera terbangun yang juga
mendapatkan hibah lahan dari pemerintah daerah setempat. "Sebanyak 21
kantor baru telah siap untuk diresmikan dalam waktu dekat,” ujarnya.
Terburuk
Meski DPD terus berbenah diri, toh
hasil evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) Tahun 2009 yang
dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(KemenPAN dan RB) menempatkan Sekjen DPD—bersama Sekjen DPR—sebagai instansi
dengan nilai terburuk (D).
Ini terjadi karena orientasi
pejabatnya cenderung berkaitan dengan proyek. Sedangkan tugas utama membantu
anggota DPD dalam memperjuangkan rakyat belum terlaksana secara maksimal.
Pengamat parlemen Sebastian Salang menuturkan, jika alat ukurnya berdasarkan pelayanan
publiknya, memang Setjen DPD—dan Setjen DPR—belum maksimal. “Sekarang sudah
ada upaya untuk meningkatkan kinerjanya dengan meningkatkan partisipasi dan
pengawasan dari publik. Kedua lembaga ini mulai transparan dalam memberikan
informasi ke publik,” katanya.
Ketua DPD Irman Gusman sendiri mengaku aneh dengan penilaian tersebut. “Selama
ini DPD selalu mendapat predikat baik dari BPK soal laporan keuangannya. Jadi,
penilaian itu aneh, apa ukurannya,” ujarnya.
Menurut dia, alat ukur yang
digunakan oleh Kemen PAN dan RB dalam menilai kinerja DPD sama dengan lembaga
eksekutif, sehingga hasil penilaiannya menjadi jelek. “Harusnya Kemen PAN
dan RB fair dalam melakukan penilaian, soalnya kinerja lembaga legislatif
berbeda dengan lembaga eksekutif,” katanya.
Kepala Biro Humas KemenPAN dan RB Gatot Sugiharto mengatakan, lembaga yang
memperoleh nilai buruk tidak perlu berkecil hati. Tapi jadikanlah penilaian
itu sebagai pemicu untuk memperbaiki kinerjanya.
“Saat ini hanya tiga lembaga yang
memperoleh predikat D atau kurang, yaitu DPR, DPD dan Lembaga Sandi Negara.
Namun ketiga lembaga itu bisa menyalip
tahun depan jika meningkatkan kinerjanya. Jadi, jangan berkecil hati,” katanya.
(Hasyim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar