28 Oktober 2014

Artikelku


DPD, Kewenangan Versus Kinerja

            Adalah amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang memberikan embrio lahirnya parlemen dua kamar (bikameral), yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, amandemen UUD 1945 pula, yang memberi desain bahwa fungsi dan kedudukan DPR jauh lebih besar dan kuat dibanding DPD.
            Karenanya, jika persoalan ini ditanyakan kepada Ketua DPD Irman Gusman, sudah pasti bahwa dia akan setuju dengan amandemen itu tetapi kurang setuju dengan hasilnya. Soalnya, fungsi dan kedudukan DPD saat ini tidak lebih dari co-parliament atau semacam co-pilot di dalam pesawat terbang sehingga tidak lebih dari “pemain cadangan.”
            “Padahal konfigurasi DPR dengan DPD ini berbeda. DPR berbasiskan ideologi partai sementara kita ini berdasarkan keragaman di daerah. Makanya dalam pembahasan RUU Pornografi, Cagar Budaya atau yang lainnya, suara kami tidak sama dengan suara DPR,” ujarnya.
            Dia mengakui bahwa sejauh ini hubungan dan komunikasi antara DPR dan DPD cukup baik. Pun dalam pembahasan undang-undang. Misalnya dalam pembahasan RUU Keuangan Mikro, hubungan dan komunikasi antara Komisi XI DPR dan Komisi II DPD berjalan cukup baik. “Tapi ini harus dibakukan dalam Tata Tertib (Tatib),” katanya.
            Dia juga menjelaskan, seperti yang diamanatkan dalam amandemen UUD 1945 bahwa kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, maka kata akhir (last word) pembuatan undang-undang pun berada di DPR. “Kita tidak diposisikan secara sejajar dengan DPR,” ujarnya sembari menambahkan bahwa masalah DAU dan DAK pun masih dibahas di “tetangga sebelah”.
            Irman mengibaratkan amandemen UUD 1945 itu seperti pengalihan pendulum kekuasaan. Jika dulu kekuasaan yang kuat berada di tangan eksekutif, kini beralih ke legislatif. Akibatnya, DPR cenderung mengambil-alih kekuasaan eksekutif, misalnya dalam hal pengangkatan duta besar, Kapolri dan Panglima TNI yang harus melibatkan DPR. “Padahal ini kekuasaan eksekutif,” ujarnya.
            Celakanya, tambah dia lagi, selain DPR diberi kewenangan yang berlebih, kewenangan ini juga tidak dibagi secara seimbang antara DPR dan DPD. Akibatnya DPR memiliki kewenangan yang luar biasa besar dengan sumber daya yang terbatas. “Kita ingin amandemen UUD menjadi lebih baik. Sebab siapapun yang menjadi presiden, meskipun terpilih 60 persen, itu akan seperti ini. Bahkan kalau DPR sekarang tidak ada pengimbang DPD, bisa lebih parah lagi,” ujarnya.
            Untuk kembali melakukan amandemen terhadap UUD 1945, Irman mengaku tidak mudah. Amandemen harus disetujui oleh 1/3 anggota MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD. Jumlahnya jika 560 orang DPR ditambah 132 anggota DPD maka harus disetujui oleh 230 anggota MPR (dari 692 anggota MPR). “Pertanyaannya, untuk mengadakan sidang ini kan harus ada 2/3 anggota DPR yang hadir. Jadi enggak gampang,” ujarnya.
            Irman mengaku tidak menyerah dengan kewenangan DPD yang serba terbatas. Dia tetap mengupayakan adanya mekanisme kerja yang melembaga antara DPR dan DPD. Oleh sebab itu dia pun mengajukan sedikitnya 10 point yang menyangkut mekanisme kerja antara DPR dan DPD, seperti penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan, pembahasan RUU, rapat kerja DPR dengan pemerintah, wakil DPD dalam pembahasan RUU di DPR, pembahasan RUU APBN, UU terkait DPD, konsideran putusan DPR, konsideran UU hingga sidang bersama DPR dan DPD. “Dari banyaknya hubungan dan mekanisme kerja yang kita ajukan, baru satu point yang disetujui, yakni mengenai sidang bersama DPR dan DPD,” ujarnya.
            Meski memiliki kewenangan terbatas, DPD yang dibentuk sejak 2004 silam, sudah memberikan banyak arti bagi kehidupan kenegaraan. Kata Irman, saat ini 17 persen APBN diberikan untuk daerah, meski dia akan berjuang untuk meningkatkannya menjadi 30 persen. “Kami juga tahu bahwa banyak alokasi dana seperti DAU yang akhirnya diserahkan kepada daerah sehingga kalau dihitung-hitung jumlahnya memang lebih dari 30 persen,” katanya.
            Dia merasakan bahwa pengakuan terhadap DPD sebetulnya sudah bisa dirasakan. Selain tulisan di depan gedung Senayan bertuliskan “Dewan Perwakilan Daerah” yang menunjukkan bahwa DPD juga berkantor bersama MPR dan DPR, secara protokoler dirinya selalu diperlakukan sebagai pemimpin lembaga tinggi negara.
            Terhadap kekhawatiran bahwa penguatan lembaga DPD akan mengidentikkan Indonesia sebagai negara federal, Irman menepis kekhawatiran tersebut. “Kita sudah mengunci masalah sistem kenegaraan ini dalam amandemen UUD 1945 bahwa negara kita berdasarkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika,” katanya.
            Ditanya soal kiprahnya di bidang politik, setelah sebelumnya lama berkecimpung dalam dunia bisnis, Irman mengakui bahwa latar belakang dirinya adalah pengusaha. Namun dengan menjadi pengusaha atau saudagar, Irman merasa dirinya bisa lebih independen. “Anda tahu bahwa Sjahrir, Muhammad Hatta dan negarawan-negarawan kita adalah saudagar,” ujarnya.
            Dia merasa bahwa keputusannya untuk terjun ke dunia politik adalah karena panggilan untuk mengabdi. Dia masuk ke dunia politik dengan didukung Fraksi ABRI untuk menjadikan dirinya sebagai anggota Utusan Daerah dari Provinsi Sumbar. “Saya waktu itu diminta ikut menggolkan Pak Habibie menjadi presiden,” katanya.
            Tentang keberpihakanya terhadap pengusaha pribumi, seperti yang sebelumnya dia dikotomikan antara pentingnya melindungi pengusaha pribumi daripada non-pribumi, Irman menilai masalah itu sekarang sudah tidak relevan. “Setelah 1998, semua pengusaha non-pribumi juga ambruk. BCA dan Astra juga diambil alih. Sekarang itu yang menguasai ekonomi kita adalah koorporasi asing,” ujarnya.
Kedudukan DPD
            Kedudukan DPD sebagai lembaga negara tercantum dalam Pasal 22C dan 22D UUD 1945. Fungsi, tugas, dan wewenangnya ditegaskan dalam Pasal 223 dan 224 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, yaitu mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu, dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
            Ketua DPD Irman Gusman optimistis bahwa tugas konstitusional itu sudah dijalankan dengan menetapkan program-program kerja dan target capaian yang dialokasikan dalam empat masa sidang melalui masing-masing Komite sebagai alat kelengkapan. “DPD punya Komite I sampai Komite IV,” katanya.
            Ketua Komite I DPD Prof DR Farouk Muhammad mengatakan, dalam konteks melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan beberapa undang-undang, salah satu yang disepakati adalah memfokuskan perhatian pada penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) langsung. ’’Saat ini, pemilukada langsung masih bagian dari UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan berhubungan dengan UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu,’’ katanya.
            Dalam lima tahun terakhir ini, lanjut Farouk, pemilukada memiliki berbagai rentetan persoalan. Karena itu, untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilukada yang sedang dan akan berlangsung pada 2010 serta pembentukan RUU pemilukada, DPD menyampaikan sejumlah rekomendasi.
Selain pemilukada, Komite I juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). ’’Selama ini pengelolaan tanah dan pertanahan di Indonesia belum cukup baik dan bahkan sering menimbulkan gejolak sosial di masyarakat,’’ ujar Farouk.
Sedangkan Komite II DPD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Ketua Komite II Ir H Bambang Susilo MM mengatakan, masalah kelistrikan di Indonesia ini sangat banyak. Antara lain, buruknya tata kelola kelistrikan di masa lalu yang berakibat pada tidak terpenuhinya permintaan masyarakat dan industri.
’’Hingga kini masih terjadi krisis listrik dan pemadaman bergilir di sebagian besar wilayah Indonesia. Keadaan ini bertambah buruk dengan masih adanya desa dan daerah terpencil yang belum terelektrifikasi,’’ katanya.
Ketua Komite III DPD DR Sulistiyo MPd mengatakan, pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraaan Ibadah Haji berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji Tahun 2009/1430 H. ’’Pengawasan ini dilakukan tidak semata-mata wujud pelaksanaan tugas konstitusional DPD, melainkan juga memenuhi aspirasi masyarakat daerah,’’ ujarnya.
Komite III juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ini berkenaan dengan pelaksanaan ujian nasional tahun ajaran 2009-2010. Dari hasil pengawasan, DPD menyimpulkan bahwa pelaksanaan UN 2010 bertentangan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 57 dan Pasal 58.
’’Karena itu, segala peraturan pelaksanaan berkenaan dengan UN harus dicabut. Ujian nasional juga telah melanggar prinsip pedagogis, psikologis, dan sosiologis serta pemborosan keuangan negara sehingga menimbulkan berbagai dampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter kuat.,’’ katanya.
            Ketua Komite IV DPD Tonny Tesar mengatakan, komite yang dipimpinnya telah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang. Di antaranya mengenai UU tentang pajak dan UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
            Pengawasan atas pelaksanaan UU perpajakan meliputi aspek kesadaran pajak di kalangan masyarakat di daerah, kualitas pelayanan pajak oleh aparat perpajakan, optimalisasi pemanfaatan dan penggalian potensi pajak, serta kendala yang dihadapi di daerah dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan.
            “Yang sering terjadi adalah perselisihan antara pembayar pajak dan pemungut pajak. Ini dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama bagi pembayar pajak yang kedudukannya dilemahkan oleh pemungut pajak yang arogan. ’Menteri Keuangan harus segera membentuk komite pengawas perpajakan yang profesional dan bermutu. Di samping itu, komisi sejenis untuk daerah agar segera dibuat,’’ katanya.
Komite IV juga mengawasi pelaksanaan UU No 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. DPD telah menerima hasil pemeriksaan Semester I Tahun 2009 dari BPK dalam suatu Sidang Paripurna DPD RI. ’’Sesuai Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya,’’ kata Tonny.
Ketua DPD Irman Gusman menambahkan, dalam setahun terakhir atau dalam kurun masa Sidang I sampai IV, DPD telah menghasilkan 39 produk, yakni satu usulan RUU, 19 pandangan/pendapat, 15 hasil pengawasan dan empat pertimbangan DPD berkait dengan anggaran.
            Sebagai lembaga perwakilan rakyat, kata Irman, DPD memiliki fungsi-fungsi perwakilan yang sama dengan semua lembaga perwakilan lainnya, yakni menjadi jembatan penghubung kepentingan rakyat dengan kebijakan pemerintah di tingkat pusat.
            Bukan hanya itu, Irman Gusman memastikan bahwa DPD akan segera meresmikan kantor DPD di ibukota 33 provinsi di Indonesia, dengan anggaran sebesar Rp 677 miliar sebagai upaya penguatan lembaga dalam menyerap aspirasi daerah. "Diharapkan kehadiran Kantor DPD di ibu kota provinsi akan memperjelas pola interaksi antara anggota DPD dan stakeholders, terutama konstituen dan pemerintah daerah," ujarnya.
Lebih lanjut dia menyebutkan, untuk tahun 2010 ini diharapkan akan muncul 21 kantor baru DPD di daerah yang akan segera terbangun yang juga mendapatkan hibah lahan dari pemerintah daerah setempat. "Sebanyak 21 kantor baru telah siap untuk diresmikan dalam waktu dekat,” ujarnya.
Terburuk
            Meski DPD terus berbenah diri, toh hasil evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) Tahun 2009 yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) menempatkan Sekjen DPD—bersama Sekjen DPR—sebagai instansi dengan nilai terburuk (D).
            Ini terjadi karena orientasi pejabatnya cenderung berkaitan dengan proyek. Sedangkan tugas utama membantu anggota DPD dalam memperjuangkan rakyat belum terlaksana secara maksimal.
            Pengamat parlemen Sebastian Salang menuturkan,  jika alat ukurnya berdasar­kan pelayanan publiknya, me­mang Setjen DPD—dan Setjen DPR—belum maksimal. “Sekarang sudah ada upaya untuk meningkatkan kinerjanya dengan meningkatkan partisipasi dan pengawasan dari publik. Ke­dua lembaga ini mulai trans­pa­ran dalam memberikan infor­masi ke publik,” katanya.
Ketua DPD Irman Gusman sendiri mengaku aneh dengan penilaian tersebut. “Selama ini DPD selalu men­dapat predikat baik dari BPK soal laporan keuangannya. Jadi, peni­laian itu aneh, apa uku­ran­nya,” ujarnya.
            Menurut dia, alat ukur yang digunakan oleh Kemen PAN dan RB dalam menilai kinerja DPD sama dengan lembaga ekse­kutif, sehingga hasil penilaian­nya men­jadi jelek. “Harusnya Kemen PAN dan RB fair dalam melaku­kan pe­ni­laian, soalnya ki­nerja lem­baga le­gislatif ber­beda de­ng­an lembaga ekseku­tif,” kata­nya.
Kepala Biro Humas KemenPAN dan RB  Gatot Sugiharto me­ngatakan, lembaga yang memperoleh nilai buruk tidak perlu berkecil hati. Tapi jadi­kan­lah penilaian itu sebagai pe­micu untuk memperbaiki kiner­janya.
            “Saat ini hanya tiga lembaga yang memperoleh predikat D atau kurang, yaitu DPR, DPD dan Lembaga Sandi Negara. Namun ketiga lembaga itu bisa  menyalip tahun depan jika me­ningkatkan kinerjanya. Jadi, jangan berkecil hati,” kata­nya. (Hasyim)

Tidak ada komentar: