16 Agustus 2020

TAHUN AJARAN BARU

 

Lolos Seleksi di FK UIN Jkt

Anak Kami Ingin Jadi Dokter!

Tahun ajaran 2019/2020 adalah tahun terakhir bagi anak sulung kami, Shaquilla Hasyim, untuk mengenakan seragam putih-abu. Artinya dia akan lulus SMA. Maka yang menjadi pertanyaan penting di benak hati saya dan istri adalah akan diterima di perguruan tinggi manakah anak ini?

Dengan bimbingan wali kelas di sekolahnya, anak kami sejak awal Juni 2020 ikut jalur prestasi. Ada sejumlah perguruan tinggi negeri yang disasar. Kalau tidak salah ada tiga. Setelah ikut seleksi melalui nilai raport—karena pandemi Covid-19 membatasi ruang gerak anak-anak untuk berinteraksi di sekolah—maka anak kami diterima di Prodi Industri Budidaya Perikanan di Institut Pertanian Bogor!

Bangga juga punya anak bisa masuk IPB, salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) top di Tanah Air. Maka sebagai wujud rasa syukur atas diterimanya anak kami di IPB, saya dengan bangga mengirimkan info kelolosan anak ini ke group WA keluarga. Alhamdulillah semua sanak keluarga turut bangga dan berbahagia, meski ada juga uwak-nya yang nyeletuk: “Ngapain la mau jadi tukang lauk (ikan)?!”

Saya tidak sadar bahwa celetukan uwak-nya terhadap anak kami itu membuat semangatnya untuk kuliah di IPB mengendur. Buktinya dia minta didaftarkan lagi melalui jalur SBMPTN ke Fakultas Kedokteran UI dan Unpad untuk mencoba peruntungan menjadi dokter. Alasan dia agar menjadi sarjana Strata1 sebab di IPB dia diterima di Sekolah Vokasi alias Diploma III.

Untuk menjaga semangat kuliahnya tetap tinggi, kami pun support penuh. Dikasihlah uang pendaftaran, dipenuhi pula persyaratan dan kebutuhan untuk seleksi masuk UI dan Unpad. Kami sokong habis. Karena masuknya dia ke PTN favoritnya adalah ketenangan dan kebanggaan bagi kami, kebahagiaan dan kemajuan bagi dia serta keteladanan dan guidance bagi adiknya.

Perkara dukungan kami agar anak sulung ini masuk ke PTN favorit sebetulnya sudah dilakukan sejak tahun lalu. Kami les-kan dia ke lembaga bimbel yang kredibel. Kami juga paksa dia untuk ikut pelajaran tambahan di sekolahnya. Pokoknya menjelang kelas 12 itu jam belajar anak kami ini kayak orang lembur kerja 2 shift. Pergi sekolah di pagi buta dan pulang les setelah malam tiba.

Karena itu ke PTN manapun anak kami ingin mendaftar pasti akan kami antar, meskipun jarak dan ranking PTN juga menjadi pertimbangan. Kami ingin anak kami kuliah di PTN favoritnya, seperti UI dan Unpad, untuk mendukung dan mewujudkan cita-cita serta masa depannya. Sayang seribu sayang, hasil SBMPTN tidak berpihak padanya. Dia tersingkir dari UI dan Unpad!

Tapi, hebatnya, anak kami tidak menyerah. Dia minta didaftarkan lagi ke Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta melalui jalur Mandiri. Oke, kami pun tetap mendukung. Namun persoalannya adalah, tenggat waktu pembayaran UKT (Uang Kuliah Tetap) di IPB sudah hampir habis. Artinya kalau tidak dibayar anak kami akan dinyatakan gugur/mengundurkan diri.

Kami tentu tidak mau gambling. Capaian anak kami masuk ke IPB tentu saja perlu diamankan, tetapi di sisi lain kami juga tidak ingin membatasi anak kami dalam menggapai cita-citanya menjadi dokter. Maka yang bisa kami lakukan adalah membayar UKT di IPB sebagai cara untuk mengamankan satu kursi di PTN, sambil tetap mendorong anak kami terus mengikuti seleksi di FK UIN Jakarta.

Setelah melalui beberapa fase, akhirnya tibalah waktunya pengumuman hasil seleksi masuk UIN Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2020. Pada saat saya menyuruh anak saya untuk membuka website pengumuman seleksi itu, dia menolak. Mungkin trauma sebab takut tidak diterima lagi seperti saat mendaftar ke UI dan Unpad. Akhirnya saya sendiri yang membuka pengumuman itu dan alhamdulillah anak kami diterima!

Selamat! Anda Lulus Seleksi Tahap Akhir pada Program Studi: KEDOKTERAN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,” demikian bunyi pengumuman tersebut.

Anak kami girang bukan main. Dia segera bersujud untuk memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena cita-citanya dikabulkan. “Alhamdulillah pah, mah, Ulla diterima,” ucapnya penuh syukur. Ibunya tak kalah terharu, dia menangis sambil menciumi anak kami. Kami sadar semua atas pertolongan Allah SWT.

Anak kami yang dulu unyu-unyu itu kini sudah kuliah

Tibalah saatnya bagi saya untuk bertanya kepada anak saya apakah akan ambil IPB atau UIN? Dengan mantap dia menjawab UIN. Ya sudah, meskipun biaya kuliah di Kedokteran UIN  jauh lebih tinggi dibanding IPB, tapi kami bismillah saja akan berusaha mewujudkan cita-cita dan masa depannya!

Karena, jujur saja, saya dan istri juga mengharapkan anak sulung kami ini menjadi dokter. Bukan apa-apa, istri saya bekerja sebagai bidan di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Selatan. Maka kalau anak kami menjadi dokter maka ibunya bisa lebih mudah guiding dia untuk beradaptasi dengan dunia kerja.

Sudah begitu, kakeknya anak saya atau ayah dari istri saya juga selalu mendorong anak sulung kami untuk menjadi dokter. Alasannya bapak mertua saya ini bekerja di bidang kesehatan dan ingin ada yang melanjutkan usahanya. Karena tidak ada anaknya yang bisa menjadi dokter, maka dia berharap pada cucunya.

Maka ada satu peristiwa lucu ketika saya membaca buku agenda anak saya. Di satu kolom pertanyaan mengenai apa motivasinya menjadi dokter, anak saya menjawab beberapa alasan, seperti ingin menolong orang yang sakit, ingin menjadi pelayan kemanusiaan, ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, dan “ingin memenuhi wasiat kakek.”

Ketika peristiwa ini saya ceritakan kepada kakeknya, tentu saja kakeknya tertawa terbahak-bahak. Rupanya kakeknya ini sering curhat kepada cucunya. “Tapi jangan wasiat kan kakeknya masih hidup. Ini mah amanat,” kata kakeknya meluruskan. Nah lho!***

Tidak ada komentar: